Ceritaku Tentang Buruh Migran

Kuliah di Jurusan Hubungan Internasional memperluas wacana saya mengenai perjuangan pekerja migran Internasional. kompleksitas perjalanan para tenaga kerja Indonesia hingga berbagai permasalahan yang dihadapi –kemudian menjadi masalah bilateral Indonesia dengan negara lain- sering menjadi diskusi rutin kami dalam kelas bahkan obrolan ketika ‘ngopi’ di pinggir jalan. berbagai teori menjadi mata pisau untuk melihat sudut pandang permasalahan tenaga kerja dan memikirkan solusinya. Selama ini saya banyak belajar dari buku, artikel, hingga pemberitaan oleh media. Sebagai akademisi, saya mempunyai tugas untuk memikirkan bagaimana diplomasi yang tepat demi memperjuangkan hak buruh migran diseluruh wilayah kerja di luar negeri.

***

Hingga suatu malam saya benar-benar terperangah dengan kisah buruh migran diluar negeri. Pada pertengahan Februari lalu, saya sedang berada Bandara Internasional Adisutjipto Yogyakarta karena sebuah urusan. Selepas hal tersebut saya hendak pulang dengan menggunakan sepeda motor. Namun hujan masih deras begitu awet sehingga mengharuskan saya menunggu hingga reda. Saya duduk disalah satu kursi di ruang tunggu. Selagi tengah asyik dengan Handphone, seorang perempuan yang membawa koper dan tas ransel menghampiri saya. Wanita ini meminta bantuan pada saya untuk meminjam pulsa agar dapat menghubungi teman yang hendak menjemputnya. ia tidak menemukan counter pulsa di sekitar bandara yang menjual kartu perdana. Sehingga ia kesulitan. perhatian saya saat pertama kali melihatnya tertuju pada tangannya yang tengah menggenggam sebuah gadget merk terkenal, namun mengapa tidak dapat digunakan untuk telfon maupun SMS.

Setelahnya, Ia duduk disamping saya. Kemudian bercerita bahwa ia baru saja tiba setelah menempuh penerbangan dari Taiwan dan transit di Jakarta. Saya tidak banyak bertanya dan membiarkan ia lepas bercerita. Wanita ini lebih muda dari saya. tidak menyelesaikan pendidikan SMA. usianya sekarang 25 tahun. sudah cukup lama menjadi buruh migran. awalnya ia bekerja di Singapura selama 3 tahun lalu pulang kekampung halaman kemudian berangkat lagi menjadi buruh migran selama 4 tahun di Taiwan.

Di Taiwan, ia bekerja merawat kakek tua sekitar 85tahun. Kakek tersebut mempunyai banyak anak cucu yang semuanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. seluruh kebutuhan kakek tersebut sejak bangun tidur hingga tidur kembali dilakukan oleh gadis ini. Sembari sesekali memperlihatkan foto kakek di gadgetnya, ia bercerita, setiap pagi menyiapkan air mandi, memandikan, menyiapkan makan, menyuapi, mengantar ke dokter untuk cek kesehatan, mengajak jalan-jalan sore, menemani bermain, mengantar ke toilet, memasangkan selang kencing ketika malam sebelum tidur, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan kakek. Saya terpana dengan ceritanya, sesekali mengernyitkan dahi, geleng kepala, tercengang, menarik nafas panjang, dan berbagai ekspresi yang menandakan bahwa saya benar-benar baru menyadari betapa sedihnya kehidupan sang buruh migran.demi menghidupi diri dan keluarga dikampung halaman, pekerjaan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya ia jalani sepenuh hati.

Belum lagi ia harus berhadapan dengan karakter masing-masing penghuni rumah tempat ia bekerja. Ada yang galak, acuh, dan cuek. Tidak bisa dibohongi bahwa kerja selama bertahun-tahun amatlah melelahkan, tambah lagi tumpukan rindu pada sanak saudara. Sejak awal tahun 2014 ia mengajukan permohonan untuk berhenti bekerja pada majikannya, namun berkali-kali ditunda dengan berbagai alasan. Satu-satunya senjata yang dapat ia gunakan ialah dengan memberi ancaman akan mengadukan penolakan tersebut kepada agen penyalur. Pada Februari 2015 akhirnya ia dapat menghirup kembali udara tanah air. Rasa lega terpancar di matanya yang berbinar menceritakan kisahnya pada saya.

Satu setengah jam berlalu begitu saja, saya terhanyut dalam kisah seorang pekerja migran. saya tersadarkan bahwa hujan telah reda ketika teman yang akan menjemputnya telah tiba. Dia pamit sambil sedikit terburu sampai-sampai saya lupa menanyakan namanya. Saya sedikit berteriak menanyakan akun facebooknya. Sambil jalan tergopoh dia bilang “cari line-ku aja dengan nama embun pagi, makasih ya mbak”. Saya menghela nafas panjang, sebenarnya sayalah yang pantas mengucap banyak terimakasih padamu Mbak ‘embun pagi’. benar-benar berharap bisa berjumpa lagi denganmu suatu hari nanti.

***

Pahlawan devisa negara ini memang kebanyakan berasal dari daerah pelosok dan minim pendidikan, namun semangat untuk menyambung hidup patut menjadi pelajaran berharga betapa mereka sangat menghargai hidup. Meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga bukanlah hal yang menyenangkan, desakan ekonomilah yang memaksa. Amat disayangkan kita masih memiliki pemerintahan yang carut marut dalam penanganan persoalan tenaga kerja serta bobroknya praktik tata kelola perusahaan pengiriman buruh migran. Namun, optimisme untuk membenahi sistem tidak boleh pudar, perlindungan hukum serta jaminan asuransi harus diperkuat. Nasib para tenaga kerja harus jauh lebih baik. Kritik yang membangun serta dukungan terhadap pemerintah bersih menjadi bagian dari tugas kita. Pada hakikatnya buruh migran adalah SDM yang dimiliki Indonesia bukan hanya sebagai penolong perekonomian negara, bahkan ilmu dan skill yang dipelajari diluar pun akan banyak bermanfaat ketika kembali ke tanah air.

Tulisan Ini Diikutsertakan Lomba Blog Buruh Migran Indonesia Bersama Melanie Subono

Memanfaatkan Turbin Angin Bekas Sebagai Aksi Penyelamatan Lingkungan

Tulisan ini akan difokuskan pada elemen tanah yang merupakan tempat berpijak seluruh aktivitas kehidupan di muka bumi. Salah satu hal terpenting ialah memikirkan gebrakan inovasi berkelanjutan demi keseimbangan rantai kehidupan. Ketika mendengar kata Belanda, yang terlintas dibenak kita ialah sebuah negara maju dengan daratan indah berhias bunga Tulip dan Kincir Angin yang sekaligus menjadi ikon kejayaan negeri Oranye ini. Dalam hal teknologi, Belanda patut di acungi jempol. Terbukti dengan berbagai inovasi yang lahir dari ide para ilmuan sejak berabad lalu. Sebut saja kemajuan teknologi kincir angin yang selalu menjadi inspirasi negara lain dalam menanggulangi permasalahan volume air laut. Kini, produksi turbin angin terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Teknologi terbarukan menyempurnakan teknologi kincir sebelumnya. Perusahaan pembuatan kincir angin kini tersebar di berbagai negara baik di belahan Eropa, Amerika, hingga beberapa negara Asia seperti China dan India. Perusahaan Vestas di Denmark menjadi perusahaan terbesar di dunia dalam pembuatan turbin angin. Belanda adalah salah satu negara yang memiliki ketergantungan terhadap keberadaan turbin angin, bisa dilihat pada tahun 2013 setidaknya Belanda membutuhkan sekitar 1.975 turbin angin aktif.

Kemajuan teknologi turbin angin tak luput dari ancaman efek jangka panjang sehingga perlu upaya untuk meminimalisir efek tersebut sebelum menjadi masalah di kemudian hari. Baling-baling turbin angin terbuat dari bahan komposit dan material sejenis fiberglass. Dimana, daur ulang serat kaca komposit ini begitu rumit dan kompleks sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan. Turbin angin layaknya benda mati pada umumnya, memiliki batasan fungsi dan jangka waktu pemakaian. Turbin angin terus bekerja dan bergerak sepanjang waktu hingga mengalami kerusakan dan perlu pembaharuan. Sehingga batang-batang turbin dan bilah-bilah kincir yang tidak dapat digunakan lagi harus di musnahkan. Sementara kebijakan tempat pembuangan akhir (TPA) untuk bahan komposit karbon kini dilarang keras di Eropa. Dengan demikian, beberapa negara memilih cara menghadapi sampah turbin angin dengan dihancurkan atau dibakar, padahal solusi ini jauh lebih berbahaya.

Perlu kita ketahui bahwa sampah turbin kerap menumpuk paling tidak sebanyak 200 rongsok turbin setiap tahunnya di Belanda dan sekitar 225.000 ton sampah turbin diproduksi setiap tahunnya di seluruh dunia. Hampir seperempat juta kincir angin di seluruh dunia harus diganti pada tahun 2030. Seiring perjalanan waktu jumlah rongsok turbin semakin bertambah banyak. Bahkan tidak jarang tumpukan kincir tersebut dipilah dan dicacah kemudian ditumpuk dengan berbagai sampah elektronik lain lalu diangkut oleh sejumlah kontainer, selanjutnya dikirim menuju beberapa negara-negara Asia Selatan dan Afrika untuk dilakukan instalasi daur ulang. Di satu sisi, Uni Eropa dikenal yang paling reaktif terhadap permasalahan lingkungan dan pemanasan global. Berbagai upaya dan kebijakan dikeluarkan demi keselamatan lingkungan dunia. Belanda menjadi penggagas dalam mencetuskan proyek penyelamatan lingkungan melalui skema reduce, reuse dan recycle pada sampah-sampah skala besar seperti turbin. Reuse menjadi salah satu cara tepat yang telah di aplikasikan di beberapa kota di Belanda.

Salah satu inovasi Belanda yaitu dengan membangun fasilitas taman bermain anak yang disulap dari turbin angin bekas. Pada bulan Oktober tahun 2008 untuk pertama kali proyek reuse turbin angin bekas diperkenalkan di Belanda, tepatnya di utara Rotterdam. Taman bermain ini diberi nama “Wikado Playground” yang terdiri dari baling-baling tua, didesain dengan rapi, dibentuk dalam potongan yang masing-masing bagiannya mempunyai fungsi, dihiasi dengan motif warna-warni yang menarik perhatian mata anak kecil. Terdapat pola grafis serta sekat-sekat antar wahana pada taman bermain ini. Lapangan sepakbola mini, papan seluncur, ayunan, serta dibangun empat menara kecil yang terbuat dari ujung bilah baling-baling kincir yang didesain sebagai menara pandang dengan ruang kecil didalamnya dan sebuah menara yang dilengkapi dengan kincir angin kecil, yang menghasilkan energi untuk pompa air.

Alasan lain yang mendorong munculnya ide kreatif ini ialah adanya keluhan yang sering diutarakan oleh masyarakat Belanda mengenai kebebasan anak untuk bermain arena publik. Juga, rancangan taman bermain anak yang disediakan pemerintah selama ini hampir semua terlihat sama. Baik dari bentuk, jenis permainan yang ditawarkan, hingga warna yang serupa. Hal tersebut membuat anak-anak menjadi bosan. Kreativitas dan inovasi yang mendorong para profesional di Belanda hingga mencetuskan taman bermain yang benar-benar unik dan ramah lingkungan. Serta dirancang untuk memaksimalkan kemampuan imajinatif anak, interaksi sosial, dan pengembangan diri. Serta keinginan para orang tua akan taman bermain yang mudah dijangkau dan terkonsentrasi di area pusat kota. Yang terpenting ialah tidak membutuhkan anggaran besar untuk mendirikannya. Karena anggaran besar tentu akan menaikkan tarikan tarif pajak bagi para pengunjung. Kebutuhan inilah yang mendorong terciptanya taman bermain anak dari turbin angin bekas.

playground-made-of-rotor-blades

Desain bangunan taman bermain Wikado

Wikado-Playground-2012-Architecten-13

Turbin angin bekas di jadikan tempat bermain anak-anak

Selain dimanfaatkan untuk membangun taman bermain yang berkonsep ramah lingkungan, turbin angin bekas juga dijadikan sebagai bahan pokok pembuatan halte bis maupun Public seating yang dapat kita jumpai di kota Rotterdam. Bangunan ini didesain dengan unik sehingga menarik perhatian khalayak ramai serta menawarkan kenyamanan bagi pengguna fasilitas tersebut.

Public seating in Rotterdam

Public seating in Rotterdam

Pemanfaatan turbin bekas ini menjadi salah satu inovasi yang menguntungkan negeri kincir sekaligus menyelaraskan dengan semboyan save our land yang sedang didengungkan Eropa. Sebagai fasilitas publik, sifat yang melekat dari material ini tahan terhadap keadaan cuaca dan angin, organik, serta memiliki struktur yang kuat dan kaku. Inovasi pemanfaatan bangkai turbin membawa banyak keuntungan bagi Belanda, diantaranya yang dapat saya disimpulkan ialah sebagai gebrakan inovasi ramah lingkungan, pemanfaatan kembali limbah barang bekas, menumbuhkan kreativitas di lapisan masyarakat, menghemat pengeluaran belanja negara dalam hal pembangunan fasilitas publik, mempercantik desain tata kota, memenuhi hak anak untuk mendapatkan area bermain yang aman serta menginspirasi banyak kota di berbagai negara untuk mengembangkan inovasi serupa.

 

Referensi :

  1. http://www.notechmagazine.com/2015/02/a-world-made-of-rotor-blades.html
  2. http://www.playgroundprofessionals.com/news/playgrounds/playgrounds-made-junk104
  3. http://www.dutchdfa.com/news/86/turbine-trash-turns-into-playground
  4. http://www.vestas.com/en/products_and_services/turbines
  5. http://statline.cbs.nl/StatWeb/publication/?DM=SLNL&PA=70960NED&D1=0-1,6,9&D2=a&D3=22-23&VW=T
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti “Holland Writing Competition 2015”

Jejak Perjalanan Cinta, Thank You Air Asia!

21 Desember 2013, menjadi hari sakral bagi saya. Sebuah momen tak terlupakan yang dilalui setiap pasang anak manusia, bernama pernikahan. Jodoh memang selalu jatuh pada orang yang tepat, yang punya hobi sama; ‘tukang jalan’. Benar saja, hadiah seserahan yang diberikan saat lamaran adalah sebuah amplop berisikan tiket promo Air Asia. Dan, perjalanan cinta ini dimulai…
Bagi saya, anak seorang supir angkot, menginjakkan kaki di luar negeri hanyalah sebuah angan-angan. Namun, hal tersebut tidak pantas berhenti dalam batas lamunan, ia tertulis rapi dalam list mimpi-mimpi. Kepercayaan saya pada teori mestakung begitu kuat. Teguh keyakinan serta semesta membantu mendoakan.

 
DSC08645

“NOW, EVERYONE CAN FLY”. Sebuah tulisan besar yang terpampang di badan pesawat saat pertemuan pertama saya dengan Air Asia. Singkat tapi memiliki makna yang dalam. “everyone” merujuk pada siapapun tanpa perbedaan status sosial. Ini bukan lagi imajinasi liar saya. Kami siap terbang ke negeri orang.

Pada setiap langkahnya, kudengar suami tak henti-hentinya mengucap syukur.  Bagi saya, Air Asia menjadi jawaban atas doa-doa yang selama ini kami panjatkan.  Penerbangan ke luar negeri dengan biaya yang bersahabat.

17 Januari 2014, perjalanan pertama bersama suami, perjalanan pertama bersama Air Asia, Perjalanan pertama menginjakkan kaki ke negeri orang.

DSC08653       DSC08651

Airbus dengan nomor penerbangan AK1325 mendarat mulus di KLIA. Begitu tiba di terminal, kami melanjutkan perjalanan dengan Skybus menuju KLLC yang berlokasi tak jauh dari hotel murah meriah di Bombay Point, tempat kami akan menginap. Seperti biasa, malu bertanya sesat di jalan, sekalipun telah berbekal secarik peta. Pada seorang lelaki yang tengah berdiri di depan toko menggunakan peci putih dan baju koko, saya bertanya letak hotel dengan menggunakan logat Melayu. Tidak sulit karena saya berasal dari Kalimantan bagian utara berdekatan dengan Sabah. Tak disangka, lelaki tersebut justru membalas dengan logat Madura yang khas. Ternyata orang pertama yang jadi penyelamat kami di perjalanan ini adalah saudara setanah air. Ia berasal dari Madura dan telah 17 tahun bekerja di KL sebagai penjaga toko. Tidak hanya mengantarkan kami menemukan hotel, ia juga memberikan kami minuman kaleng dingin serta berkali-kali mengingatkan untuk selalu waspada dengan barang bawaan. Pelajaran darinya: bahwa kebaikan adalah hal yang membahagiakan, bukan sesuatu yang merepotkan.

Hotel kami berlokasi di jalan Tun Sambanthan Brickfields yang juga dikenal dengan sebutan Little India. Hampir semua penduduk sekitar adalah orang India, restoran maupun warung makan menyajikan makanan India, deretan toko menjual berbagai produk diekspor langsung dari India. mulai dari toko pakaian, aksesori, makanan-minuman, dan lain-lain. Bahkan yang berjualan di sepanjang jalan, petugas kebersihan jalanan, penjaga toko, tukang masak, pramuniaga, dan lainnya semua orang India dan Sri Lanka.

Berada di Brickfields, terutama di malam hari rasanya seperti tidak sedang berada di Malaysia. Semua orang mengenakan baju tradisional India. Para wanita menggunakan Sari atau Shalwar Kameez, sementara para pria menggunakan Dhoti atau Lungi. Pinggiran jalan dipenuhi restoran yang menyajikan masakan lengkap dengan iringan musik khas India yang diputar menggunakan sound system super besar yang menggugah hasrat ingin bergoyang.

Jalan Tun Sambanthan malam hari

 

DSC08724

Sambutan di pagi hari

Sebagai penggemar film India, menggunakan sari memang salah satu keinginan saya sedari dulu. Namun, harga kain tersebut tidaklah murah, di Indonesia pun saya jarang menemukannya. Pagi hari, kami menyusuri jalan di Brickfields ini sambil menggendong carrier di punggung. Ide gila saya tiba-tiba muncul ketika berdiri di depan salah satu butik yang menjual Sari. Saya meminta izin untuk meminjam salah satu Sari di sana hanya untuk berfoto. Suami saya agak ragu karena takut sang pemilik akan tersinggung apabila hanya meminjam dan tidak membeli. Ternyata mereka menyambut baik maksud saya, hehe, gadis-gadis asli Sri Lanka itu bersemangat memakaikan saya Sari dan menawarkan pada suami saya mencoba menggunakan Dhoti. Setelah memasangkan Sari, mereka menjadi fotografer dadakan kami. Ah, kemana niat baik selalu bersambut orang-orang baik. Hingga kini, kami masih berkomunikasi dengan mereka di jejaring sosial.

DSC09467

Teman baru, sang pemilik butik 🙂

DSC09444

bukan Shah Rukh Khan dan bukan Rani Mukerje

Selanjutnya, sesuai rencana, kami menuju Thailand Selatan dengan perjalanan darat. Dari KL ke Hatyai kami menumpang bus Sri Maju. Di Hatyai kami oper bus lain menuju Phuket. Tiba di terminal Phuket pukul 3 dini hari. Mushola persegi di lantai dua terminal menjadi pilihan untuk beristirahat sejenak sambil menunggu datangnya subuh. Thailand Selatan memang multikultur. pagi menjelang orang-orang sudah ramai yang berlalu lalang, mulai dari para biksu, sekelompok wanita dengan jilbab panjang, orang barat dengan carrier besar-besar dipundak mereka, berbaur dengan warga lokal yang tengah menjajakan dagangannya. Sungguh pemandangan yang mendamaikan.

Tepat pukul 6 pagi, kami mulai berkeliling menggunakan motor rental dengan harga sewa yang cukup terjangkau. puas mengitari kota kami menuju Pelabuhan Asia Marina. Memutuskan untuk membeli tiket kapal menuju Pulau Phi-Phi, icon wisata Thailand yang sayang jika dilewatkan. Gugusan pulau batu kapur terhampar indah menyambut kedatangan kami, beberapa kali berpapasan dengan kapal nelayan yang menangkap ikan ke Laut Andaman dengan peralatan tradisional sebagai bentuk kepedulian terhadap ekosistem. Goyangan ombak sesekali berhasil meriuhkan susasana. Hampir semua penumpang kapal adalah orang asing, kebanyakan dari Eropa dan Asia Timur. Beberapa kali kami berkenalan dengan sesama penumpang, ada rombongan pemuda dari Indonesia yang penuh semangat bercerita, sepasang suami istri dari Irak, dua laki-laki bongsor dari Swiss, dan seorang wanita berasal dari kep. Polynesia yang cepat bersahabat dengan saya. Rasanya, perjalanan semakin bermakna ketika bisa menoreh senyum di wajah orang lain yang baru saja dikenal.

penumpang kapal berasala dari berbagai negara

kapal nelayan sederhana nan unik

snorkling adalah agenda wajib di Phi-phi Island

kapal nelayan sederhana nan unik

 

 

 

Phi-phi Island

Phi Phi Island

perjalanan cinta bentuk syukur kami

Sore hari, kami sudah kembali ke Terminal Phuket, siap melanjutkan perjalanan menuju Hatyai. Bus malam melaju, kami tertidur pulas, mata terasa begitu berat hingga tak menyadarkan kami bahwa Hatyai sudah lewat satu jam lalu, laju bus membawa kami hingga ke Pattani. Terpaksa kami harus kembali berbalik arah dengan angkutan umum. Pasca konflik tahun 2005 membuat penjagaan di daerah ini lebih diperketat. Semua kendaraan harus berjalan membentuk zigzag, tentara berjaga-jaga di antara ruas ruas pohon besar sepanjang jalan. Paspor kami di cek satu persatu. Mungkin kami satu-satunya orang asing di angkutan saat itu. Begitu tiba di Hatyai kami lanjut ke KL. Esoknya, sebelum bertolak ke bandara kami menyempatkan diri untuk berfoto di depan icon Malaysia. Menara kembar Petronas ini terlihat gagah dengan desain fountain di depannya seraya mengucapkan selamat jalan pada kami.

Sampai bertemu lagi, Menara Petronas!

 

Thank youuuuuuuuu, Air Asia!

Lima hari perjalanan singkat ini, hanya satu malam merasakan tidur di Hotel. Bus menjadi tempat tidur pilihan demi memaksimalkan budget dan waktu. Untuk mandi? Kami numpang di warung makan, masjid-masjid, rumah warga, atau terminal umum. Ke mana pun pergi, punggung kami selalu dihiasi carrier ukuran 60L. Saya tidak tahu, apakah model pejalan seperti kami bisa dikatakan sedang berbulan madu? Lebih dari itu, kami sedang menikmati kehidupan. Kepada Air Asia saya haturkan terimakasih!
Perjalanan kali ini berakhir, tetapi merupakan awal untuk perjalanan kami selanjutnya. Sebulan kemudian, saya kembali mendapatkan tiket promo Air Asia untuk penerbangan PP ke Bangkok, Thailand. Dalam perjalanan kedua tersebut kami tempuh selama 6 hari dengan melintasi EMPAT negara via jalur DARAT. Akan saya ceritakan di bab selanjutnya.

***

Selain untuk berbagi bahagia, tulisan ini saya buat untuk kompetisi blog Air Asia, Dirgahayu Air Asia, thank you so much!

10462746_10152215475186699_5594241781196307018_n